Kalau kita berjalan dari arah Pasar Minggu menuju Pancoran, Jakarta Selatan. Setelah Carrefour, di sekitar kompleks Garuda ada Masjid, nah di depan Masjid itu ada tukang sate, namanya Pak Tohir. Jadi nama warungnya ya Sate Pak Tohir. Yang istimewa dari sate pak Tohir ini adalah telur muda yang ada pada setiap tusukan sate ayamnya. Pokoke Pak Tohir gak ada duanya deh. Eit, tunggu dulu! Pak Tohir ini beda dengan Warung Gudeg Pakde Gon di Cileungsi atau pun Nasi Goreng TQ. Kalau Pakde Gon alias Amir alias Aming alias Gondrong (saking gondrongnya dia pernah disangka tukang kerupuk oleh almarhum bokap gue) dan TQ alias Dyah Sari Suteki, mereka adalah anak-anak Diploma III China. Maka Pak Tohir ini sama sekali bukan teman kita (sumpah! Boleh tanya Simon, dedengkotnya Ikadici yang hafal nama anak-anak dari angkatan pertama sampai yang masih kuliah).
Terus apa hebatnya Pak Tohir ini sampai bisa masuk weblognya Ikadici? Apalagi dia gak ada hubungan sama sekali dengan Ikadici. Memang dengan Ikadici sih gak ada cuma dia itu ada jasanya juga untuk kita-kita (Saya, Simon, Heru, Anka, Herlan, Yossi). Setidaknya banyak sudah potongan satenya yang naknan (uenak tenan) itu masuk ke perut kita. Hal ini terjadi karena kita-kita (tadi dah disebut siapa aja) sering banget tidur di rumah Yossi yang selalu dipanggil secara lengkap oleh Ibu Poedji Rahayu Soegiri yang dulu rumahnya di belakang STAN, dengan panggilan Endoyoso. Nah Yossi inilah yang sering beliin kita-kita sate Pak Tohir untuk makan malam dan makan pagi (kalo masih ada sisa malam tentunya,dan cuma Anka yang paling doyan sarapan pake sate, ditemani saya Simon, Heru, Herlan, dan Yossi). Dasar mahasiswa!
Nah siangnya kita-kita kuliah berangkat bareng pakai mobil landrover Yossi. Lagi-lagi nunut. Tapi hal ini kita lakukan setelah kampus kita digusur ke Depok. Sebelumnya kampus kita kan di Rawamangun, bersebelahan dengan IKIP Jakarta (sekarang UNJ). Waktu di Rawamangun kita pada naik buskota dengan harapan banyak kenalan sama cewek manis. Kayak Uda Helmy yang godain cewek tapi ternyata malah dosen sendiri.
Sampai sekarang Warung Sate Pak Tohir masih berdiri, tapi Yossi belum pernah lagi ngundang kita-kita makan di sate Tohir (dasar mental kere! Maunya ditraktir, he..he..he..). Mudah-mudahan Yossi setelah membaca tulisan ini tergerak hatinya dan langsung mengajak para Kurawa ini makan di Warung Sate Pak Tohir lagi. Karena dia itu teman yang dermawan. Untuk teman-teman yang mau merasakan kelezatan Sate Pak Tohir tolong paksa Yossi untuk membaca tulisan di weblog ini. Dan jangan lupa bersama-sama kita bujuk dia untuk traktir kita makan sate di sana. Yossi “Endhuk” Endoyoso, where a u my man? (nitya ”yup-yup” pramudita)
Catatan : nama, tempat, waktu dan peristiwa telah kami samarkan untuk melindungi jati diri pelaku sebenarnya agar dia tidak malu untuk mengundang kita makan sate.
Iyah udah lama tuh enggak ke sate pak tohir, ok deh gue traktir anak gue n yang lain bayar sendiri2 yah he he , kan udah pada gede he he .
Setuju Le. Ntar kalo reunian satenya pake pak Tohir aja, gudegnya PakDe Gon, terus nasgor TQ. Sama uli bakar Pasar Minggu. Selain orangnya, makanannya reuni juga pasti seru.